Pada artikel sebelumnya kami membuat artikel mengenai pengertian dasar PDB serta implementasinya dalam suatu perekonomian. Sesuai janji, kami akan memberikan update mengenai hasil PDB Q2 Indoenesia serta dampaknya bagi bagi pasar saham.
Pertumbuhan Ekonomi 2Q17 5.01% YoY
Pada tanggal 7 Agustus 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di 2Q17 sebesar Rp3.366 triliun (tiga ribu tiga ratus triliun Rupiah). Dibandingkan dengan PDB pada 2Q16, pertumbuhan PDB di 2Q17 atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5.01% YoY. Pertumbuhan ekonomi 2Q17 sebesar 5.01% YoY tersebut sama seperti pertumbuhan ekonomi di 1Q17. Dengan kata lain, pada 2Q17, ekonomi Indonesia Flat.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara ibaratnya adalah bahan bakar utama dari pergerakan aset berharga termasuk surat berharga seperti saham. Oleh karena itu, harga saham akan sangat dipengaruhi dengan data PDB tersebut. Pertumbuhan ekonomi 2Q17 sebesar 5.01% YoY akan berdampak signifikan pada pergerakan IHSG di semeter 2 tahun 2017 (2H17). Bagaimana dampaknya ?
Dalam workshop Fusion Analysis, kami akan jelaskan Makro Ekonomi sebagai topik awal karena kami sadar signifikansi informasi Makro Ekonomi terhadap investasi saham. Sebagai Teaser, dalam artikel ini kami akan sharing sedikit mengenai Makro Ekonomi terutama PDB tersebut. Bagi anda yang tertarik dengan workshop tersebut, silahkan klik di sini.
Sebelum memahami dampak pertumbuhan ekonomi, sebelumnya mari kita lihat lebih dekat pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2Q17 (dari koran Kontan) :
PDB yang dilihat dari sisi Pengeluaran maka terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pengeluaran konsumsi baik Rumah Tangga maupun Lembaga Non-Profit (LNPRT) yang tumbuh 4.95% YoY dan 8.49% YoY. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (atau Investasi) pun tumbuh 5.35% YoY serta Net Ekspor (karena ekspor lebih tinggi dari impor) sebesar 2.81% YoY. Perlu dicatat bahwa Konsumsi (Rumah Tangga dan Lembaga Non-Profit) tumbuh normal di kisaran 4.9% – 5% YoY (dari sejak 2015). Dengan demikian, sebenarnya tidak terlihat adanya perlambatan.
Catatan penting lainnya adalah Pengeluaran Konsumsi Pemerintah yang turun -1.93% YoY di 2Q17. Hal ini menunjukkan belanja negara yang berkurang. Pada pemerintahan Jokowi, belanja negara diidentikkan sebagai belanja infrastruktur dan berhubungan erat dengan sektor Konstruksi (lebih khususnya lagi adalah emiten konstruksi BUMN). Oleh karena itu, penurunan pengeluaran konsumsi pemerintah (-1.93% YoY) menjelaskan kenapa emiten Konstruksi turun dengan kisaran -21.5% (PTPP) sampai Flat -0.96% (ADHI) dari awal tahun hingga 9 Agustus 2017. Pasar telah memperkirakan belanja infrastruktur pemerintah berkurang di 2Q17 sehingga menjual emiten – emiten konstruksi tersebut.
Seiring dengan perkiraan pasar benar (bahwa belanja negara turun) dan harga saham telah turun, maka ada kemungkinan harga saham saat ini telah mencerminkan kondisi tersebut (Priced-In). Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana ekspektasi pasar terhadap PDB Indonesia di 3Q17 dan 4Q17 ? Bagaimana ekspektasi pasar dengan sektor Konstruksi di 2H17 ? Pertanyaan tersebut belum akan dijawab semua di artikel ini namun konsep berpikir yang pada akhirnya menjawab pertanyaan tersebut akan kami sederhanakan dan jelaskan di workshop Fusion Analysis. Silahkan cek informasinya di sini.
Pertumbuhan Ekonomi dan Harga Saham
Secara paling sederhana, untuk memahami pentingnya dampak PDB dengan harga saham dapat dilihat dari cuplikan koran Kontan edisi 8 Agustus 2017, sehari setelah data PDB keluar.
Apa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan target indeks saham ? EVERYTHING!
Pertumbuhan Ekonomi (yang dilihat dari Produk Domestik Bruto atau PDB) adalah salah satu unsur terpenting di ilmu Makro Ekonomi. Karena Makro Ekonomi adalah satu dari tiga ilmu yang digabungkan di Fusion Analysis, maka sangatlah penting memahami Pertumbuhan Ekonomi dan dampaknya terhadap pergerakan harga saham.
Sesuai dengan judul artikel Kontan di atas maka dapat disimpulkan target indeks saham berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Tentu yang lebih tepat adalah target harga saham lah yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan investor (khususnya analis) akan menyesuaikan prediksi pertumbuhan pendapatan dan laba bersih emiten dengan prediksi pertumbuhan ekonomi. Meskipun tidak ada formula baku namun setidaknya prediksi pertumbuhan emiten searah dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, karena sudah ada tanda kemungkinan pertumbuhan ekonomi tidak tumbuh sesuai prediksi maka akan ada revisi ke bawah atau lebih rendah dari awal. Dengan kata lain, akan ada penurunan target indeks saham yang disebabkan oleh penurunan target harga saham.
Sebelum mengambil kesimpulan dengan adanya penurunan target indeks dan harga saham, sebelumnya mungkin kita perlu membaca opini dari ahli (Ekonom). Salah satu laporan ekonomi berbahasa Indonesia dan mudah diperoleh adalah sebagai berikut :
“Respon agresif pemerintah. Belanja pemerintah terkontraksi pertumbuhan tahunannya di 2Q17 walaupun pertumbuhan realisasi belanja APBN membaik. Ini bisa berarti kemampuan belanja negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menurun. Tetapi dengan hasil ini, pemerintah diperkirakan merespon dengan agresif untuk mendorong realisasi belanja APBN yang lebih cepat di 2H17 untuk, paling tidak, mendekati target PDB 5,2% YoY. Belanja pemerintah yang terkontraksi di 2H16 bisa memberikan kesan pertumbuhan tahunan tinggi di 2H17. (PDB 2017E 5.1%, 2018E 5,3%).”
Ekonom tersebut memperkirakan akan ada realisasi belanja APBN yang lebih tinggi di 2H17 dan ada kesan pertumbuhan tahunan yang tinggi di 2H17 karena belanja APBN di 2H16 termasuk rendah. Dengan kata lain, pasar dapat memperkirakan belanja pemerintah akan tinggi di 2H17 dan belanja pemerintah yang paling mungkin adalah berupa peningkatan belanja infrastruktur. Yang paling jelas terlihat adalah akan semakin banyak proyek infrastruktur yang ditenderkan sehingga kontrak baru dari emiten – emiten konstruksi BUMN di 2H17 sangat mungkin melonjak. Lonjakan kontrak baru inilah yang berpotensi mendorong kenaikan harga saham emiten konstruksi.
Lebih Dalam Mengenai Prospek 2H17
Setelah membahas mengenai dasar PDB dan pertumbuhan ekonomi, kami ingin mencoba membahas lebih dalam lagi mengenai prospek harga saham paska pertumbuhan ekonomi 2Q17 yang Flat. Pembahasan pertama adalah mengenai kemungkinan pemerintah menggenjot belanja negara. Tentu pasar masih ingat bagaiman Sri Mulyani, Menteri Keuangan, memangkas anggaran di 2H16 dan pasar mengkhawatirkan hal tersebut di 1H17 – sehingga sektor Konstruksi semakin sulit untuk naik. Pendapatan negara di 1Q17 mencapai Rp295 triliun, lebih tinggi dari 1Q16 sebesar Rp247 triliun. Pendapatan negara di 2Q17 pun kembali naik sebesar 43% QoQ (dibanding 1Q17) sehingga pendapatan negara di 1H17 mencapai Rp718 triliun, lebih tinggi dari 1H16 sebesar Rp637 triliun.
Lalu perlu dicatat juga bahwa pengeluaran negara di 1Q17 hanya tumbuh 2.7% YoY sedangkan di 1Q16, pengeluaran negara melonjak 3.4% YoY. Pada 2Q17, pengeluaran negara malah turun -1.9% YoY sementara di 2Q16, pengeluaran negara melonjak 6.2% YoY. Hal ini menjelaskan kenapa ada penghematan anggaran di 2H16 karena pengeluaran negara yang sangat tinggi tidak diikuti oleh penerimaan negara yang baik. Harap diingat kembali bahwa Tax Amnesty pun mulai terlihat berhasil di 4Q16.
Ancaman Di 2H17
Meskipun ada potensi belanja pemerintah akan ditingkatkan di 2H17 yang berdampak positif secara langsung terhadap sektor Konstruksi, belanja pemerintah pun tentu akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat (karena pemerintah akan membelanjakan anggaran untuk membeli barang dan jasa yang disediakan masyarakat). Kesejahteraan meningkat berarti sektor yang berbasis konsumsi pun akan meningkat. Dampak tersebut akan terus bergulir multi dimensi dan multi sektor sehingga ada indikasi pertumbuhan ekonomi meningkat di 2H17 hanya disebabkan oleh peningkatan belanja pemerintah. Dengan kata lain, pengeluaran pemerintah yang tinggi di 2H17 akan berujung pada Uptrend dari IHSG dan saham – saham konstruksi dan konsumsi.
Namun demikian, laporan riset dari broker asing berpengaruh mengatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang Flat di 2Q17 maka ada kemungkinan pasar akan kembali menurunkan pertumbuhan laba emiten – emiten di 2017. Bahkan sejak 2016, pasar sebenarnya terus menurunkan estimasi laba bersih emiten di 2017. Berdasarkan laporan keuangan emiten di 2Q17, terlihat bahwa lebih banyak para analis yang menurunkan estimasi laba bersih (Downgrades) daripada analis yang menaikkan estimasi laba bersih (Upgrades). Berdasarkan kinerja 2Q17, Analis melakukan Upgrade terhadap 38% emiten namun melakukan Downgrade 33% emiten lain. Downgrade sebanyak 33% emiten termasuk yang terbesar sejak 2016. Tren Upgrade pun terus berkurang dari 4Q16.
Penurunan laba bersih (dalam bentuk Earning Per Share atau EPS) akan membuat PE (Price to Earning) IHSG semakin tinggi atau semakin mahal. Semakin mahal valuasi IHSG (dilihat dari PE) maka semakin terbataslah kenaikannya sedangkan ancaman turun akan semakin kuat. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang rendah akan berujung pada penurunan harga saham.
Website Administrator
Creative Trading System | Creative Idea in Stock Market